Monday, February 22, 2016

ANAK SUKSES, PESANTREN, dan MASJID

Setiap orang tua memiliki harapan akan kesuksesan putra – putrinya. Berbagai metode pendidikan dari balita sudah mulai diterapkan. Dengan tujuan si buah hati menemukan “jati diri” kemana, apa, dan bagaimana dirinya menjadi manusia yang sukses.

Anak telah tumbuh besar, namun mereka masih tetap membutuhkan pendidikan dan pengajaran yang baik sebagai salah satu faktor penunjang keberhasilan mereka. Diakui, kesuksesan anak juga tergantung pada faktor lingkungan. Oleh karena itu, kita berusaha mencari lingkungan yang kondusif bagi putra – putri kita.

Pilihan lingkungan pendidikan yang lebih tepat di zaman penuh “virus” akhlak buruk ini salah satunya adalah pesantren. Karena di pesantren, kegiatan dari bangun tidur sampai tidur kembali diatur dengan penerapan jadwal yang membiasakan anak melakukan kegiatan yang bernilai positif dan manfaat. Sehingga mampu secara totalitas mendidik anak hidup disiplin dan terkontrol serta bebas dari virus tersebut. Tentu mereka akan menjadi pribadi cerdas yang islami sehingga semakin mudah meraih hidup sukses. Maka dari itu, pesantren merupakan miniatur kehidupan sebagai latihan sebelum mereka terjun di tengah masyarakat kelak. 

Sebegitu hebatkah pesantren? Ada beberapa nilai pesantren (living values) yang bisa ditanamkan pada diri santri adalah, pertama, nilai persaudaraan. Bagaimana tidak nilai persaudaraan akan muncul. Selama 24 jam, santri berkumpul, belajar, makan, istirahat, olah raga, bahkan antri ketika mandi, dan mereka hidup bareng selama beberapa tahun, sehingga terbentuklah atmosfer persaudaraan yang erat. Sangat wajar ketika ada yang sakit, mereka akan saling membantu dsb. Dalam hadits Nabi SAW, “Seorang mukmin terhadapat mukmin(lainnya) bagaikan satu bangnan, satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhri dan Muslim).

“Perumpamaan orang – orang beriman dalam hal saling mencintai, megasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (HR. Muslim).

Kedua, kesederhanaan. Dalam dunia pesantren, tidak ada pembedaan santri satu dengan santri lainnya. Semua dipandang sama. Yang kaya atau miskin, semua sama. Misalnya, ketika waktu makan dengan lauk ikan maka semua santri makan ikan semua. Ketika lauknya tempe, maka makan tempe semua. Begitu juga ketika mandi. Tidak ada kamar mandi special dengan fasilitas shower dsb. Tentu fasilitas yang sederhana. Hal itu salah satu contoh bagaimana santri dididik dalam kehidupan sederhana. Menumbuhkan sikap peduli kepada orang dan menanamkan sikap bersyukur akan kenikmatan yang diterimanya. Maka mereka akan lebih siap mental tatkala terjun di kehidupan masyarakat bagaimanapun keadaannya.

Ketiga, cinta ilmu. Belajar di pesantren yang sarat dengan ilmu agama yang memerintahkan santri memiliki keseimbangan antara penguasaan ilmu umum maupun agama. Hingga jiwa santri terbentuk sikap cinta ilmu baik ilmu umum maupun agama. Inilah bekal seseorang yang sukses dunia akhirat, seimbang antara ilmu umum maupun agama. Semuanya dipelajari dengan baik. Hal itu sebagai bekal untuk meraih dunia dan akhirat secara baik. Hadits Nabi SAW, yang artinya; “Barangsiapa yang ingin mencapai kebahagian dunia maka harus dicapai dengan ilmu. Barangsiapa yang ingin mencapai kebahagian akhirat, maka harus dicapai dengan ilmu. Barangsiapa yang ingin mencapai kebahagian dunia dan akhirat, maka harus dicapai dengan ilmu.” (HR. Thabrani)

Keempat, berwawasan luas. Santri dididik untuk menatap kehidupan lebih luas karena panggung kehidupan yang telah menanti tidak sebatas ruang kelas, namun dunia luas yang memiliki beragam adat dan kebudayaan serta agama. Santri harus tampil gagah dan bijaksana dengan bekal ilmu pengetahuan luas sebagai pioner agen dakwah islam rahmatan lil ‘alamin.

Kelima, mandiri. Di dunia pesantren, santri dididik agar mampu dan berani hidup di atas kaki sendiri. Jangan bermental “tempe” yang lembek, yang ada selalu ingin dibelas kasihani orang. Tapi biasakanlah mandiri sebagai bekal hidup nanti.

Keenam, ikhlas. Jalanilah hidup dengan ikhlas, jangan ciut hati ketika dicela dan dikritik, jangan pula lupa diri ketika dipuji. Kembalikanlah semua kepada Allah yang maha Kuasa.

Di samping penanaman nilai – nilai tersebut pada diri santri, santri dilatih berorganisasi sebagai wahana latihan untuk bekal di masa yang akan datang. Salah satunya adalah organisasi takmir masjid. Istilah umumnya adalah DKM (Dewan Kemakmuran Masjid). Di sana, para santri akan mendapatkan berbagai ilmu. Tidak sebatas ilmu agama, namun bagaimana santri semakin bijak dan ahli melalui media berorganisasi.

Bukankah kita tahu, siapa itu Bung Hatta, Jenderal Sudirman, atau penulis ambil contoh bapak wakil presiden Indonesia Jusuf Kalla, beliau adalah Ketua umum Dewan Masjid (DMI), beliau pernah memberi nasehat kepada pemuda zaman sekarang ini, “seharusnya menjadikan masjid sebagai basis pergerakan dan aktivitas. Pemuda harus dekat dengan masjid, menjadikan masjid sebagai pusat kajian dan kegiatan Islam, sekaligus wahana pembelajaran dan menempa karakter keikhlasan.”

Sedikit gambaran beliau, sejak remaja di tahun 1960 an hingga 1970 an, pak JK sudah menjadi tukang setel amplifier sebuah Masjid Raya, dan sampai sekarang beliau masih mengurus masjid meskipun beliau sudah menjadi wapres. Sekiranya kita bisa meneladani salah satu contoh pemuda masjid yang cerdas berjiwa islami dan sukses seperti bapak Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia.

Akhirnya kita berdoa bersama untuk para santri dengan penanaman nilai – nilai persaudaraan, kesederhanaan, cinta ilmu, berwawasan luas, mandiri, dan ikhlas, serta semangat berorganisasi, diiringi adanya tirakat usaha lahir batin dari para orang tua, mereka menjadi manusia sukses dunia dan akhirat.
--------------
Lutfi Adnan Muzamil

No comments:

Post a Comment